Minggu, 05 April 2009

SAYA INI MILIK SIAPA atau UNTUK SIAPA ?

"AKU bukanlah pemilik kehidupanku sendiri. Hidupku kupersembahkan bagi perjuangan rakyatku. Para tentara dapat membunuhku setiap saat. Namun, saat itu haruslah ketika aku sedang bertugas. Di sanalah darahku akan tertumpah secara tidak sia-sia melainkan menjadi kesaksian bagi rakyatku."

Me Lamo Rigoberta Menchz, yasmme nacmo la conciencia (1992)

Apa itu Feminisme ?

Feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Gerakan perempuan dan ide feminisme memandang perempuan sampai detik ini selalu dalam posisi tertindas, sub-ordinat secara sistem dan terpenjara secara ideologis. Ada bebarapa macam aliran Feminisme yang berkembang; sebut saja : Feminisme Liberal, Feminisme Radikal dan Feminisme Post Modern. Di samping itu ada pula istilah Feminisme Anarkis, bahkan juga berkembang aliran dalam penamaan agama seperti Feminisme Islam atau Feminisme Kristen.

FEMINISME LIBERAL

Apa yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.

Apa jalan keluar yang ditawarkan oleh Feminis Liberal? Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan. Inilah yang dikatakan oleh salah seorang tokohnya, Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Pandangan ini jelas bersifat reformis dan moderat. Isu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta perluasan hak-hak individu (termasuk jatah kuota sekian persen untuk perempuan di bangku parlemen atau pemerintahan) berikut solusi-solusinya, adalah gaya mereka. Juga pelibatan perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan, yang populer disebut Women in Development. Intinya ialah semua action pergerakan perempuan dilakukan sedikit demi sedikit tanpa mengganggu status quo kekuasaan. Pada akhirnya lelaki harus dipaksa untuk memberikan "tempat" pada perempuan dalam segala bidang kehidupan.

FEMINISME RADIKAL

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.

Basis teori ini ialah bahwa sistem patriarkal tersebut datang dari perbedaan biologis antar jenis kelamin, khusunya peran perempuan dalam reproduksi. Intinya adalah penindasan secara kelamin (sex),di mana perempuan ditindas oleh lelaki. Tetapi berbeda dengan Feminisme Liberal yang menuntut kesetaraan gender untuk kesamaan peran secara moderat (artinya lelaki adalah musuh yang bisa disadarkan) - aliran ini malah menganggap lelaki sebagai "musuh tak terdamaikan". Mereka mengatakan: "karena lelaki tak mengalami penindasan seksual, maka laki-laki tak mengerti akan perjuangan pembebasan perempuan" .

Bagi Feminis Radikal, inilah yang disebut sebagai perbedaan esensial. Karena intinya adalah permasalahan biologi, maka mereka perlu melokalisir sumber permasalahan yakni sex. Seksisme sesuatu yang tak terhindarkan, karenanya yang menjadi musuh adalah laki-laki. Teori patriarkal mereka mengatakan bahwa dominasi lelaki pada hakekatnya jahat, suka melakukan kekerasan, suka berperang dan suka melakukan pemaksaan seksualitas. Perempuan hanya dijadikan sekedar obyek sosial belaka. Penjelasan mereka hanya berhenti pada masalah biologis saja tanpa ada penjelasan sosial tentang seksualitas tersebut. Mereka mengatakan pula bahwa teori mereka adalah "karena penindasan berbasis biologis itu adalah sesuatu yang alamiah" maka tawaran teori mereka ini "murni" membela perempuan tanpa terkontaminasi pikiran dan budaya laki-laki. Mereka mengajukan pula praktek lesbianisme sebagai solusi seksualitas secara konsisten.

Tak heran, sebagai konsekwensi dari kekacauan teori mereka ini dalam prakteknya mereka menentang pastisipasi lelaki dalam aksi-aksi nyata pembebasan perempuan. Prioritas dari gerakan mereka hanya berkutat pada seksualitas, teknologi reproduksi, perkosaan dan kekerasan seksual. Propaganda mereka lebih banyak bergerak di bidang studi perempuan. Mereka juga sering mengedepankan jargon personal is political, sebagai ungkapan pendapat bahwa perlawanan atas penindasan perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal dan subyektif urusan perempuan itu sendiri.

Jika kita memakai teori ini, jelas bahwa kita akan beranggapan bahwa sejak manusia muncul di dunia ini laki-laki telah menindas perempuan. Dan ketika mereka berhadapan dengan fakta-fakta dari lapangan sejarah bahwa dalam masyarakat berburu dan mengumpul kesetaraan ini ada, mereka kebingungan. Mereka kemudian mengajukan teori "Man the Hunter" vs "Women the Gatherer". Mereka berusaha memutarbalikkan fakta sejarah seakan-akan yang berburu adalah laki-laki, sehingga di dalam diri setiap laki-laki akan muncul nafsu membunuh dan merampas, sedangkan yang mengumpul adalah perempuan, sehingga dalam diri perempuan mengalir naluri membangun dan memelihara. Ini bukan saja sebuah pandangan yang naif, namun sudah menjadi sebuah propaganda hitam. Ini adalah penyesatan. Laki-laki dan perempuan sama-sama melakukan perburuan dan pengumpulan bahan makanan. Mungkin mereka tidak tahu bahwa para ahli neurofisiologi telah menemukan bahwa kecenderungan righthandedness (kebanyakan orang lebih dapat menggunakan tangan kanannya daripada tangan kirinya) yang khas terdapat pada manusia adalah hasil evolusi panjang yang diawali oleh keharusan para ibu untuk menggendong bayinya ketika berburu.

Teori yang mereka kembangkan ini jelas gagal dalam menjelaskan bukan saja akar permasalahan dan asal-usul ketertindasan perempuan, tetapi juga bagaimana praktek penindasan itu terjadi. Teori mereka yang berdasar pada permasalahan biologi dan kelamin, yang pada awalnya berusaha mengambil landasan rasional gugur berantakan ketika berhadapan dengan fakta-fakta ilmiah dan berubah menjadi manupulasi. Memang benar pembedaan jenis kelamin akan selalu ada, tapi secara sosial itu tak bisa dijadikan persoalan. Kenyataannya yang jadi korban penindasan terbesar adalah pekerja - baik itu perempuan maupun lelaki.

Dan kegagalan paling besar dari Feminisme Radikal adalah kegagalannya menerangkan mengapa banyak pemimpin perempuan justru menindas kaumnya sendiri. Margareth Tatcher, misalnya, justru membalikkan peraturan-peraturan yang dibuat pendahulunya yang laki-laki, peraturan-peraturan yang banyak memberi kesempatan perempuan dari kelas-kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan. Di negeri sendiri, kita melihat bahwa Megawati, seorang perempuan, telah memotong banyak anggaran subsidi - satu hal yang pasti sangat merugikan kaum perempuan dari kelas-kelas bawah yang semakin akan kesulitan untuk mengatur anggaran belanjanya. Megawati sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki nasib kaum perempuan di negeri ini. Fenomena ini sama sekali gagal dijelaskan oleh Feminisme Radikal.

Penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Namun, penindasan itu tidak dapat diterangkan dengan mengandalkan diri pada perbedaan biologis antara keduanya.

FEMINISME KRISTEN

Teori feminisme tentang kekristenan terbagi menjadi tiga katagori, yakni: mereka yang Meragukan pandangan teologis tentang perempuan dan androsentrisitas teologi tradisional; mereka yang mengevaluasi gereja sebagai sebuah institusi dan bertujuan untuk meningkatkan status profesional perempuan dalan gereja. Teori feminis mempersoalkan pengunaan istilah-istilah maskulin untuk menyebutkan Tuhan atau Roh Kudus. Dalam riset mengenai citra perempuan dalam gereja dan dalam sejarah kristen, teolog mengungkapkan bahwa hanya ada dua citra perempuan-sebagai pendosa atau sebagai perawan suci, yang meliputi keibuan dan ketaatan. Feminisme kristen tidak anti-kristen namun menyatakan bahwa kristen telah mengesampingkan tema-tema injil yang transental dan mendukung citra anti-perempuan.

FEMINISME KULTURAL

Teori feminisme yang dipersembahkan untuk menciptakan kultur perempuan yang radikal dan terpisah. Charlotte Perkins Gilman dalam Herland, memberikan ungkapan imajinatif tentang femanisme kultural dalam ceritanya dalam suatu masyarakat dengan para perempuan yang kuat di pimpin olehpeempuan, mempunyai kepedulian terhadap perdamaian dan kerjasama. Feminisme kultural mendeskripsikan bagaimana kultur perempuan yang kuat dalam musik, satra, seni, puisi, ilmu pengetahuan dan obat-obatan akan menjadi anti-otoriter dan struktur. Beberapa feminisme radikal berpikir bahwa patriakhi merupakan kultur yang trans-historis dan meliputi semua dan oleh karenanya mereka percaya bahwa perempuan hanya akan bebas dalam suatu kultur perempuan alternatif. Hegemoni patriakhi mendorong beberapa feminis untuk menarik diri dari aksi politik tradisional dan malah menbelok untuk menciptakan dunia perempuan yang terpisah. Mary Daly khususnya mendiskripsikan banyak strategi feminis kultural untuk melakukan perubahan sosial. Dalam Gyn/Ecology, dia menyebutkan resistensi itu sebagai sebuah proses'percikan api persahabatan perempuan'. Dengan 'membalikkan ujung jarum kosmis' perempuan akan menciptakan kultur baru dengan ritual, simbol dan bahasa feminis yang baru feminis. Para Kritikus menyatakan bahwa feminisme kultural masih mengabaikan persoalan sampai sejauh mana ke perempuanan itu berfungsi sebagai pelengkap bagi laki-laki.

FEMINISME MARXIS

Teori feminisme sangat berbeda dari teori Marxis karena feminisme harus memfokuskan pada gender dan seksualitas daripada kondisi material dalam setiap konstruksi ideologis. Namun demikian, banyak feminis menyatakan bahwa hanya sintesis dari Marxisme dan feminisme yang bisa membebaskan perempuan. Tujuan dari Marxist-feminisme adalah mendeskripsikan basis material ketundukan perempuan, dan hubungan antara model-model produksi dan status perempuan, serta menerapkan teori-teori perempuan dan kelas pada peran keluarga. Seorang feminis Sheila Rowbotham menunjukkan bagaimana pemisahan kerja (produksi) merupakan pemisahan yang hanya ada pada laki-laki. Konsep sosial mengenai rumah sebagai tempat pelarian dari dunia kerja memberikan topeng pada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Konsep ini mengaburkan kerja perempuan di rumah, menyulitkan memahami kenyataan bahwa kerja domestik menunjang kapitalisme dan masyarakat patriarkis.

Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme.

Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.

Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum tertindas untuk memenagkan pembebasan adalah dengan melawan untuk sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari minoritas yang haus keuntungan.

Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis baru ini adala kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat. Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas pekerja-rasisme,seksisme, penindasan bangsa-adalah tak dapat dihindarai untuk menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.

Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi kapitalisme:keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk menghapuskan semua tanggung-jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelas mereka.

Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk bertahan hidup, mndorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang diperlukan untuk membuat kelas pekrja tetap pasif. Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah tangga, semuanya dilakuakn dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk menggaji perempuan lebih sedikit. Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda.

Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasn perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi,orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati.

Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme. Sebuah gerakan akan menuntut: hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri: legal penuh, kesamaan politik dan sosial; hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara,hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.

Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini: memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga; mengambil pertanggung-jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakuak dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas.

Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuhhubungan kebutuhan manusia bebasa dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas. Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bia meniadakan penindasan lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenagkan masyarakat baru inni dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan perjuangan pembebasan lain-dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan.

Laki-laki sebagai individual maupunkelompok, mempunyaikepentingan material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan,pekerjaan dan upah yang lebih baik; mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan buruh domestik gratis; karena situasi ekonomi mereka yang lebih baikmereka mempunyai akses seksual terhafdap perempuan, melalui indistri seksual. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntuntungan terhadap perempuan.

Bagaimanapun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan kelas laki-laki kelas pekerja karena ia memisahkan kelas pekerja dan memperlemah kemampuan mereka untuk nberjuang dan menggulingkan sang penindas, kapitalis.

Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja mengembangkan kesadaran kelas-sampai mereka menyadarikepentingan kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur melawan seksisme- mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas berkuasa dahulu.

Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaksetaran kels berjalan terus.

Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka sampai "setelah revolusi". Sebalinya hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah perjuangan terpadu juga: "tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis"

FEMINISME POST MODERN

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial, tetapi lebih dalam makna diskursus.

Sebenarnya teori ini lahir dari kemunduran dan demoralisasi gerakan kiri dan gerakan perempuan pada tahun 1970an disusul dengan runtuhnya rezim Stalinisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ide ini lahir dari kefrustasian para mantan Marxis yang salah satu motornya ialah kelompok Frankfurt School.

Berawal dari kefrustasian inilah mereka kemudian merumuskan bahwa "semua kebenaran itu relatif", kebenaran yang mutlak tidak ada. Dengan demikian, konsepsi tentang pembebasan perempuan kemudian dikembalikan pada pengalaman masing-masing individu. Mereka percaya bahwa tidak akan ada satupun konsep pembebasan perempuan yang akan membebaskan perempuan sebagai kaum. Pembebasan itu hanya dapat terjadi jika semua perempuan sudah dapat "menemukan konsepsi mereka sendiri tentang pembebasan perempuan".

Mereka ini tidak menyadari bahwa pembentukan ide di kepala manusia sangat ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Seorang perempuan yang tiap hari mendengar kotbah dari para agamawan yang dogmatis dan kolot, yang menentang persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, pasti akan dengan sendirinya turut menolak pembebasan perempuan.

Ide-ide yang ada pada feminisme posmo jelas mengandung banyak kelemahan. Pemecahan pada individu-individu untuk "mengerti akan penindasan" tidak bisa menjelaskan mengapa mayoritas massa rakyat -dan diantara yang masyoritas itu jumlah perempuan adalah yang terbesar - hidup dalam masalah penderitaan secara ekonomi dan sosial. Gejala sosial apa yang bisa diterangkan oleh posmo? Tak ada. Karena pemutlakan individu adalah penekanan mereka, sementara masalah penindasan adalah masalah mayoritas umat manusia. Jelas ini destruktif untuk mengaburkan persoalan-persoalan sosial. Apakah pekerja perempuan yang ditindas di dalam pabrik suatu negara kapitalis terbelakang, bisa diselesaikan secara individual?

Satu hal lagi yang harus dikritik dari Feminisme Posmo: kecenderungannya mengadakan usaha perubahan hanya dalam bentuk diskursus. Ini ngomong doang. Tidak akan pernah ada perubahan dari ruang-ruang seminar. Sejarah dunia telah membuktikan berkali-kali pada kita bahwa perubahan hanya dapat diperoleh di jalanan - dengan aksi-aksi massa. Dalam hal apapun. Baik itu dalam persoalan Orde Baru maupun dalam soal perempuan. Jika mereka berpikir bahwa persoalan perempuan dapat diselesaikan dari ruang-ruang diskusi, mereka ini naif sekali. Tapi, jika mereka percaya bahwa memang demikian halnya, mereka justru membantu patriarki untuk tetap berkuasa secara dominan karena apapun yang mereka perdebatkan di ruang-ruang seminar ber-AC itu tidak akan pernah terjangkau oleh perempuan pekerja di pabrik-pabrik atau perempuan petani di sawah-sawah.

Perantaraan linguistik (bahasa) yang menjadi medium untuk memecah-mecah persoalan, tidak akan berguna untuk merespons perjuangan massa rakyat yang semakin masif di berbagai belahan dunia, karena kaum perempuan miskin tidak paham tentang bahasa-bahasa elitis ini. Jika kita ingin membebaskan seluruh kaum perempuan, kita justru harus bicara dalam bahasa yang paling sederhana. Kita harus menginggalkan "bahasa kita" dan mulai bicara dengan "bahasa mereka". Perdebatan tentang bahasa hanya akan menghasilkan pengaburan atas pokok permasalahan sebenarnya dan justru akan dapat dimanfaatkan oleh kelas pemilik modal.

FEMINISME ANARKIS:

Suatu teori bahwa subordinasi perempuan ditentukan sedemikian rupa oleh sistem hubungan seksual dan keluarga sebagaiamana juga oleh kontrol negara, dan perubahan hukum tidak dengan sendirinya bisa memberikan persamaan tanpa kemerdekaan psikologi penuh.

Feminisme anarkis akan menghilangkan semua hambatan sosial dan menggantinya dengan komunitas perempuan yang desentralis dan organis.

Anarkis Feminis awal, misalnya Emma Goldmann dan Voltairine de Cleyre yakin bahwa sikap-sikap sosial akan tumbuh secara organis menjadi kebebasan seksual dan psikologis. Anarkis Feminis menyatakan bahwa negara dan patriakhi adalah penyimpangan yang sama. Menghancurkan negara adalah menghancurkan pelaku utama patriakhi yang terbelakang; menghapuskan patriakhi adalah menghapuskan negara. Feminis anarkis juga yakin bahwa alat yang digunakan untuk mengubah masyarakat harus merupakan model-model masa depan masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya kelompok-kelompok kerjasama perempuan dan kelompok yang meningkatkan kesadaran perempuan biasa memberikan kontribusi lebih penting dalam sosial dan ideologi daripada jumlah mereka atau status ekonomi yang menjadi dampaknya. Feminisme anarkis menolak alat-alat seperti teori persetujuan karena hal ini mengabsahkan pengunaan kekuasaan negara secara terbatas dan feminisme liberal yang mengkooptasi daripada meradikalkan gerakan perempuan.

Anarkisme sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Mereka seperti kaum posmo -anti otorianisme, anti kelembagaan dan sistem; karenanya eksistensi kekuasaan dan negara harus ditolak karena lembaga adalah sumber penindasan. Masyarakat sosialis menurut versi mereka ialah masyarakat federal yang terdiri dari komune-komune otonom yang melakukan produksi bersama. Dalam praktek perjuangannya pun, karena mereka anti otorian, mereka berelasi lewat jaringan-jaringan kerja (networks) dan menganggap bahwa organisasi yang ketat dan berdisiplin, melanggar kebebasan individu.

Feminisme Anarkis - yang juga banyak variannya (bahkan ada varian yang pro kapitalisme, walau tidak dominan) - secara umum mendasarkan pada pemahaman demikian : penindasan perempuan karena adanya sistem yang menindas. Kapitalisme adalah sistem yang menindas dan sistem itu sendiri adalah otorianisme yang pula menindas. Feminisme Anarkis menyatakan bahwa negara dan patriarki adalah penyimpangan yang merampas kebebasan dan karenanya harus segera dihancurkan. Teori ini menganggap subordinasi perempuan ditentukan sedemikian rupa oleh sistem hubungan seksual dan keluarga sebagaimana juga oleh kontrol negara, karenanya semua hambatan sosial harus dihilangkan dan menggantinya dengan komunmitas perempuan yang desentralis dan organis. Tokoh-tokoh Feminis awal seperti Emma Goldmann dan Voltaire berpendapat bahwa sikap-sikap sosial akan tumbuh secara organis menjadi kebebasan seksual dan psikologis.

Kelemahan yang paling mencolok dari teori anarkisme sebagai suatu paham ialah ketidakpercayaannya pada bentuk-bentuk otorianisme - karena ilusi libertariannya tersebut. Pemujaannya yang berlebihan pada kebebasan individu mengaburkan kenyataan bahwa kelas yang dihadapi adalah kelas yang menggalang kekuatannya secara organisasional yang amat rapi dan ketat, di mana kelas pemodal ini memiliki seperangkat hukum, tentara dan senjata sebagai alat-alat kekerasan; (tentu saja mereka juga punya alat-alat ideologinya yang didukung fasilitas dan dana besar : seni, ilmu, media massa, pendidikan dll). Anarkisme menolak pengorganisiran secara kelas, sementara lawannya adalah kelas pemodal yang begitu sadar untuk mengorganisir diri secara kelas pula.

Apa artinya ini? Kaum anarkis dengan caranya tersebut telah membantu kelas kapitalis untuk mencegah perlawanan teorganisir dari kelas pekerja.

Demikian pula teori feminisme anarkis akan menumpulkan kesadaran perempuan yang akan terilusi pada ide kebebasan yang anti dialektika ini. Ada dua kesalahan pada teori ini : pertama pandangan bahwa kebebasan bisa dipraktekkan dalam lapangan politik (jika mereka itu pun sepakat bahwa perjuangan perempuan adalah politik) yang begitu keras menghadapi kekuatan kelas bermodal. Mereka masih percaya pada individu-individu secara organis akan menjawab tuntutan bersama untuk memukul secara 'bertenaga' ke jantung kekuatan penguasa. Hanya persatuan yang kuatlah -sebuah kesatuan yang berfusi dengan praktek demokratik (kami menyebutnya sentralisme demokratik) - yang bisa mengarahkan perjuangan kepada tahap-tahap yang lebih maju. Kedua, apakah secara hakekat ada kebebasan di masa kekuasaan modal seperti sekarang ini? Tak ada. Kehendak seseorang secara individu selalu dibatasi oleh banyak hal, terutama uang. Terdengar aneh jika masih berlaku ingin punya kebebasan pada masa sekarang. Ekonomilah yang membatasi kelas pekerja, karena ekonomilah yang jadi basis material sejarah yang dikuasai pemodal. Jika ilusi "kebebasan organik" juga diterapkan dalam gerakan, apakah kelas pekerja akan mempunyai kekuatan yang teguhdan kuat untuk menghancurkan kekuasaan kelas penguasa? Artinya kita memang ingin menuju kebebasan umat manusia, tetapi dalam praktek gerakan, ada harga yang harus dibayar. Inilah yang tak dimengerti oleh kaum anarkis, termasuk para feminisnya.

Jadi, ada beberapa point sebagai kesimpulan, ada beberapa kritik mendasar yang harus dilontarkan pada berbagai aliran Feminisme di atas:

Secara umum aliran-aliran itu adalah reduksi (pembiasan) dan distorsi (pengacauan) permasalahan yang sebenarnya. Permasalahan perempuan berkaitan dengan adanya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas secara sosial di dalam masyarakat, tetapi, Feminisme borjuis memandang persoalan secara septong-sepotong. Inilah yang dilihat dari teori Feminisme liberal atau Posmo.

Aliran-aliran itu juga salah dalam melihat konteks permasalahan, seperti pada Feminisme radikal yang memandang lelaki adalah musuh kaum perempuan atau Feminis Liberal yang melihat permasalahan perempuan pada kesalahan perempuan itu sendiri. Kesalahan dalam melihat permasalahan, akan bersifat kontraproduktif dalam perjuangan.

Aliran-aliran itu memandang perjuangan perempuan secara sektoral dan "separatis" dan tidak ada keseriusan untuk bergabung dengan kekuatan sektor massa lain. Ini terjadi karena mereka berpijak pada kesalahan teoritik yang lebih mencerminkan pada masalah seksisme.

Aliran-aliran itu masih mengilusikan tentang kebebasan individual dan ini menyebabkan pelemahan pada gerakan pembebasan perempuan dan rakyat secara terorganisir

Lebih dari itu; aliran-aliran itu akan dimunculkan sebagai ideologi tanding bagi keberadaan ideologi progresif, yang tujuannya akan memoderasi gerakan dan pada akhirnya, untuk memenangkan ideologi kelas yang sedang berkuasa.

Oleh karena sebab terakhir inilah maka aliran-aliran feminis yang telah dibahas di atas (kecuali feminisme anarkis) hanya berlaku dominan di lapisan menengah dan atas dalam masyarakat - lapisan yang dihuni oleh kelas borjuasi dan antek-anteknya.

FEMINISME ISLAM

Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini.

Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu.

Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu?

Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tak akan kita lepaskan dari kehadiran Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.

Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.

Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw. terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya.

Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah.

Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahaabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan.

Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam.

Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya.

Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi.

Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka frame menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai way of live atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna.

Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan "male dominated" sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari frame ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran.

Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena nonsens bila keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu me-reorientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam.

Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama.

Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya.

Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini.

FEMINISME SOSIALIS

Di atas, secara singkat,telah dipaparkan secara historis asal muasal munculnya ketertindasan perempuan. Adanya kepemilikan pribadi dan munculnya kelas-kelaslah -yang dimulai dari ditemukannya pertanian, lalu peternakan- asal mulanya penindasan terhadap perempuan. Lalu perempuan dipinggirkan perannya dalam bentuk keluarga. Ini terus dilanggengkan dari munculnya masa feodalisme hingga kapitalisme. Ideologi patriarkal -yakni pelestarian secara sosial dominasi lelaki dan sebaliknya peminggiran peran dan kedudukan perempuan- terus dihidupkan, karena memang menguntungkan.

Feminisme Sosialis mencoba membongkar akar ketertindasan perempuan dan menawarkan ideologi alternatif yakni: Sosialis. Penindasan terhadap perempuan tidak akan berakhir selama masih terus diterapkannya sistem kapitalisme. Inilah yang dikatakan sebagai peminggiran peran perempuan sebagai bagian dari produk sosial, politik dan ekonomi yang berhubungan dengan keberadaan kapitalisme sebagai suatu sistem. Inilah penindasan yang berakar pada keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat. Pada awalnya, Friedrich Engels yang menjelaskan dalam buku klasik The Origin of the Family, Private Property and the State (1884). Keterpurukan perempuan bukan karena perkembangan teknologi, bukan karena perempuan lemah secara mental dan tenaga (sehingga harus dilindungi oleh lelaki), bukan karena sebab-sebab yang lain; tetapi karena munculnya kelas.

Masalah penindasan perempuan tidak beridiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dalam sistem yang saling berkaitan Perjuangan pembebasan perempuan hanya berhasil ketika sistem kepemilikan pribadi yang memerlukan secara logis penindasan terhadap perempuan, berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas, dan penguasaan alat-alat produksi pada segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial. Inilah masyarakat sosialis: suatu masyarakat dimana ideologi patriarkal secara logis tak diperlukan, di mana perbudakan perempuan di dalam keluarga harus dihapuskan, perempuan terlibat dalam proses produksi secara bersama-sama dan memecahkan setiap permasalahan masyarakat secara bersama-sama pula..

Pada prakteknya, perjuangan pembebasan perempuan tak bisa dipisahkan dari perjuangan Sosialisme; karena secara sistematis Kapitalisme dengan alat-alat ideologi dan alat-alat kekerasannya, melakukan penindasan pada semua sektor masyarakat. Kapitalisme secara frontal memerlukan penindasan terhadap pekerja (sehingga seorang buruh perempuan, harus mengalami dua lapis penindasan : baik sebagai buruh, maupun sebagai perempuan) , memerlukan perusakan lingkungan hidup, memerlukan rasisme, memerlukan seni dan hiburan yang membodohkan masyarakat dan memerlukan praktek Neoliberalisme dan Imperialisme sebagai jalan keluar dari krisis yang terus melilitnya. Inilah contoh-contoh yang menjelaskan mengapa perjuangan perempuan harus dilakukan dengan persatuan yang kokoh dengan berbagai sektor masyarakat lain, utamanya dengan kelas pekerja. Perjuangan perempuan tak bisa terpisah secara sektoral dan eksklusif, karena akan melemahkan persatuan kokoh dari masyarakat yang tertindas.

Perjuangan perempuan memang terus mengagendakan masalah-masalah penindasan yang dihadapi perempuan terkini yang selintas terdengar sektoral, seperti masalah gender, kekerasan dan diskriminasi seks, tetapi semua itu dilakukan dengan cara membongkar akar ketertindasan perempuan yakni sistem kapitalisme. Perjuangan perempuan juga harus terlibat aktif dalam gerakan-gerakan yang menjadi permasalahan umat manusia secara umum misal: lingkungan hidup, diskriminasi ras atau Neoliberal.

Secara ringkas bisa dikatakan: perjuangan Sosialisme tak bisa dipisahkan dengan perjuangan pembebasan perempuan dan dengan keteguhan di dalam persatuan masyarakat yang terorganisirlah pembebasan perempuan sejati akan tercapai, yakni ketika masyarakat Sosialis telah tercipta.